Tuesday, November 28, 2023

Tersesat di Konstantinopel (3. Sağmalcılar)

Salah satu pembeda antara negara tropis dan subtropis (4 musim) adalah curah hujan. Hujan di Istanbul sering terasa seperti gerimis. Ketika hujan lebat pun butuh waktu yang lama untuk basah kuyup. Tapi walaupun begitu, suhu dingin membuat hujan terasa menyebalkan. 

Ada kalanya aku merindukan hujan lebat. Hujan dengan butiran raksasa yang meninju kulit wajah ketika menengadah menatap langit. Hujan seperti ini hanya ada di kampung halaman. Sungguh malang orang Istanbul tidak tau betapa merdunya suara hujan yang menyirami atap rumah. Tidur dengan suara hujan lebat adalah salah satu tidur ternyaman.

Sağmalcılar adalah nama stasiun subway yang akan selalu melekat dalam ingatanku, stasiun terdekat dari apartemen. Stasiun pertama untuk pergi, dan stasiun terakhir untuk pulang. Jarak dari apartemen ke stasiun adalah 10 menit berjalan kaki, Bagiku satuan jarak bukan lagi kilometer, tapi waktu tempuh. 

Aku akan merayakan tahun baru dengan teman - teman dari Indonesia di apartemen Mba Miya. Fanni the Cirebon Kid juga ada disana. Perjalanan panjang yang melelahkan ke Istanbul bagian Asia. Aku sering bergurau kalau aku satu-satunya dari kami yang tinggal di Eropa, tepatnya Istanbul bagian Eropa. Untuk yang tidak tau Istanbul terbagi dua bagian, wilayah eropa dan asia, pembatasnya adalah selat bosporus.

Satu-satunya pembeda di malam itu adalah tamu dari Afrika Selatan, Jonas, pacar dari salah satu teman kami yang berasal dari NTT yang juga flat matenya Mba Miya. Hal yang sebenarnya menarik bagiku karna orang Indonesia timur memang mayoritas berperawakan mirip dengan orang Afrika. Ini bukan hal yang kebetulan, karna berdasarkan ilmu antropologi, dalam tiga klasifikasi ras, orang Indonesia timur dan orang Afrika memang satu kelompok ras. Ini jika mengacu pada penggolongan tiga ras utama (Mongoloid, Kaukasoid, dan Negroid)

Aku sendiri tidak asing dengan orang Afrika, sewaktu di Jepang aku sangat dekat dengan mahasiwa doktoral dari Kenya. Paul dan Titus, aku benar-benar merindukan mereka. Masih ingat betul bagaimana aku berdebat dengan perempuan Nigeria yang merupakan teman Titus. 

Aku benar-benar sangat polos ketika bertanya umur perempuan Nigeria itu. Mungkin karna aku saat itu masih sangat muda, aku tidak paham kalau semakin tua seorang perempuan, semakin sensitif dia dengan umurnya, apalagi yang belum menikah. Kalau ada mesin waktu aku akan bilang ke diriku "Jangan didebat, minta maaf saja"

Interaksi pertamaku dengan Jonas tidak begitu baik, mungkin karna aku mencoba untuk mengambil gambar bersamanya. Aku sedikit bingung apa ada yang salah. Aku hanya ingin mengabadikan momen.

Hal kedua tentang Afrika yang aku pelajari selain jangan bertanya tentang umur ke perempuan Afrika adalah jangan ajak berfoto kecuali mereka yang minta. Untuk alasannya aku belum tau, tapi ya sudah hargai saja. 

Malam itu aku benar-benar menikmati kebersamaan dengan Fanni, Miya, Jeniar, Febi, Vita, Vero dan Jonas. Sebuah gitar milik Miya yang salah satu senarnya sumbang menemani malam kami. Kita bernyanyi ria sebelum akhirnya keluar untuk menyaksikan kembang api. 

Di suhu 6 derajat, dengan bermodalkan jaket tebal kita duduk di taman. Jonas menjadi moderator dari pembicaraan mendalam kami. Aku merasa dia orang yang cerdas dan punya banyak ilmu pengetahuan. 

Dalam khidmatnya malam pergantian tahun dengan kembang api yang menghujani langit Istanbul, Pria Afrika Selatan itu menanyakan sebuat pertanyaan yang membuatku tertegun.

"Apa yang kamu pelajari sejauh ini dan apa yang kamu harapkan di tahun depan?" tanya Jonas
Entahlah Jonas, selama tiga bulan ini di Istanbul, aku mulai kehilangan arah, Turki bukan negara yang membuatku nyaman. Meskipun aku menyukai keindahan kota yang dulunya ibukota kekaisaran romawi ini, sekarang aku merasa tersesat di konstantinopel.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...